JAKARTA – lintasopini.com – Transgender atau perubahan identitas gender biasanya dikaitkan dengan gangguan mental, kejiwaan dan penyakit. Para transgender sejatinya adalah individu yang merasa tidak berada di dalam tubuh yang tepat sehingga kurang tepat bila disebut penyakit.
Organisasi Kesehatan Dunia WHO sendiri sejak Mei 2019 tidak lagi mengkategorikan transgender sebagai gangguan mental. Hal ini selaras dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa gender identity disorder atau kelainan identitas gender dihapus dari pedoman diagnosis global.
Perlu diperhatikan, jenis kelamin dan identitas gender adalah dua hal berbeda. Jenis kelamin merupakan perbedaan biologis antara pria dan wanita, meliputi: kromosom, hormon, dan organ seksual. Sedangkan identitas gender mengacu pada peran sosial dan budaya, maskulin dan feminin dari perempuan atau laki-laki dalam masyarakat.
Masalah Psikologis yang Kerap Dialami oleh Transgender
Para transgender biasanya mengalami kondisi yang disebut gender dysphoria. Kondisi dimana individu mengalami rasa tidak nyaman atau tertekan karena merasa jenis kelamin biologisnya tidak sesuai dengan identitas gender yang mereka yakini. Dalam kasus gender dysphoria, seseorang merasa bahwa jenis kelamin biologis yang ia bawa sejak lahir tidak cocok dengan identitas gendernya. Hal ini yang menjadi alasan pengidap gender dysphoria ingin menjalani operasi ganti kelamin.
Konflik gender menimbulkan masalah beragam bagi setiap orang yang mengalaminya. Tidak semua orang dengan gender dysphoria melewati jalan yang mulus dalam mengenali jati dirinya. Dikutip dari University of Rochester Medical Center, banyak LGBTQ+ yang kesulitan dalam menentukan seksualitas mereka. Gender dysphoria bukanlah penyakit kejiwaan tetapi kesulitan yang mereka hadapilah yang lantas memicu berbagai masalah kejiwaan, seperti:
1. Gangguan Kecemasan
Penelitian dalam International Journal of Transgenderism menyebutkan bahwa risiko gangguan kecemasan pada transgender tiga kali lipat lebih besar dibanding non-transgender. Gangguan ini umumunya diakibatkan oleh penolakan selama transisi menuju gender yang baru. Penolakan tersebut membuat mereka tidak bisa mengungkapkan perasaan dan mengekspresikan diri seutuhnya.
2. Depresi
Depresi biasanya muncul akibat pengucilan dan stigma negatif dari orang-orang sekitar. Perilaku yang mereka terima lambat laun memicu stres berkepanjangan, menurunkan kepercayaan diri serta menghambat kemampuan bersosialisasi.
3. Self-Harm dan Pikiran untuk Bunuh Diri
Melansir Mental Health Commission of Canada, beberapa faktor yang membuat transgender rentan melakukan percobaan bunuh diri, antara lain: a) Mengalami kekerasan fisik, verbal, dan seksual; b) Kurangnya dukungan dari orang terdekat; c) Adanya kebijakan yang menimbulkan rasa tidak aman; d) Stres dan takut akibat proses transisi gender; e) Perubahan – perubahan besar dalam pola hidup setelah transisi gender.
4. Masalah Psikologis pada Transgender terkait Penyalahgunaan Zat
Salah satu faktor penyebab masalah kejiwaan transgender adalah penyalahgunaan zat seperti alkohol, rokok, dan narkotika karena mereka kesulitan menempatkan diri dalam masyarakat yang bersikap diskriminatif. Dikutip dari The Center for American Progress, sekitar 20-30% gay dan transgender telah melakukan penyalahgunaan zat. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan jumlah penyalahgunaan zat pada populasi umum sebesar 9 persen.
Penyebab ‘Gender Dysphoria’
Menurut National Health Service, gender dysphoria bisa disebabkan oleh beberapa hal:
1. Hiperplasia Adrenal Kongenital
Kondisi ini terjadi jika kadar hormon pria di dalam janin perempuan terlalu tinggi sehingga ketika terlahir, sang anak mungkin merasa dirinya adalah laki-laki bukan perempuan.
2. Interseks
Kondisi ini terjadi jika bayi memiliki perbedaan antara alat kelamin eksternal dan alat kelamin internal (testis dan ovarium). Kondisi ini disebut juga dengan istilah hermafrodit.
3. Sindrom Ketidakpekaan Androgen
Saat kondisi ini terjadi, gender dysphoria berpotensi muncul akibat hormon yang tidak bekerja secara baik di dalam rahim.
4. Hormon Tambahan
Hormon tambahan dalam sistem ibu akibat mengonsumsi obat-obatan tertentu saat sedang mengandung menjadi salah satu penyebab gender dysphoria.
Penanganan ‘Gender Dysphoria’
Pengidap gender dysphoria perlu penanganan dalam bentuk bantuan psikologis. Penanganan gender dysphoria bertujuan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa tidak nyaman yang timbul akibat ketidakselarasan antara jenis kelamin biologis dan identitas gender mereka.
Selain itu, pengidap gender dysphoria yang takut akan perubahan bentuk tubuhnya saat pubertas bisa mengkonsumsi obat-obat hormon (testosteron atau estrogen) untuk meminimalisir perubahan fisik akibat pubertas, tentunya dengan pengawasan dokter.
Masalah psikologis yang menimpa transgender sebenarnya dapat dikurangi risikonya dengan menghilangkan peraturan diskriminatif di tempat umum. Kaum transgender juga memiliki hak asasi yang sama seperti halnya kaum non-transgender. Selain itu, edukasi tentang seksualitas juga penting untuk mengurangi perilaku pengucilan terhadap transgender. (Amal)
Sumber:
- https://www.psychiatry.org/patients-families/gender-dysphoria/what-is-gender-dysphoria
- Bouman, W. P., Claes, L., Brewin, N., Crawford, J. R., Millet, N., Fernandez-Aranda, F., & Arcelus, J. (2017). Transgender and anxiety: A comparative study between transgender people and the general population. International Journal of Transgenderism, 18(1), 16-26.
- Dhejne, C., Van Vlerken, R., Heylens, G., & Arcelus, J. (2016). Mental health and gender dysphoria: A review of the literature. International review of psychiatry, 28(1), 44-57.
- https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-truth-about-exercise-addiction/201612/why-transgender-people-experience-more-mental-health
- https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/masalah-psikologis-transgender/
- https://www.sehatq.com/artikel/kenali-gender-dysphoria-kondisi-medis-yang-masih-jarang-didengar